Abu Abdillah Al-Qalanisi dan Seekor Gajah
- Senin, 02 September 2024
- Admin
- 0 komentar
Dalam sebuah perjalanan Abu Abdillah Al-Qalanisi dengan mengendarai perahu, tiba-tiba angin kencang menggoncangkan perahu yang ditumpanginya. Seluruh penumpang berdoa dengan khusyuk demi keselamatan mereka dan mereka mengucapkan sebuah nazar.
Para penumpang berkata kepada Abu Abdillah, “Masing-masing kami telah berjanji kepada Allah dan bernazar agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kami. Maka hendaknya kamu juga bernazar dan bersumpah kepada Allah.” Dia menjawab, “Aku ini orang yang tidak peduli dengan dunia, aku tidak perlu bernazar.”
Tetapi mereka memaksaku. Lalu aku bersumpah, “Demi Allah, sekiranya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkanku dari musibah yang menimpaku maka aku tidak akan makan daging gajah.”
Mereka bertanya, “Apakah boleh bernazar seperti itu? Apakah ada orang yang mau makan daging gajah?” Aku menjawab, “Itulah pilihanku, semoga Allah memberi ganjaran atas lisanku yang mengucapkan kata-kata itu.”
Benar, tidak lama kemudian kapal itu pecah. Para penumpang terdampar di sebuah pantai. Berhari-hari kami berada di pantai tersebut tanpa makan sesuatu pun.
Ketika kami sedang duduk beristirahat, ada anak gajah lewat di depan kami. Mereka menangkap anak gajah tersebut, menyembelih lalu memakannya. Mereka menawariku makan seperti mereka. Aku menjawab, “Aku telah bernazar dan bersumpah kepada Allah untuk tidak makan daging gajah.”
Mereka mengajukan alasan, bahwa aku dalam keadaan terpaksa, sehingga dibolehkan untuk membatalkannya. Aku menolak alasan mereka, aku tetap memenuhi sumpahku. Setelah makan, mereka merasa kenyang lalu tidur.
Pada saat mereka tidur, induk gajah datang mencari anaknya, ia berjalanan mengikuti jejak anaknya sambil mengendus-endus. Hingga akhirnya ia menemukan potongan tulang anaknya .
Induk gajah itu pun sampai di tempat perisitirahatan kami. Aku memperhatikannya. Satu demi satu orang dia ciumi. Setiap kali ia mencium bau daging anaknya pada orang itu, maka orang itu diinjak dengan kaki atau tangannya sampai mati. Kini mereka semua telah mati.
Tiba saatnya induk gajah mendekatiku, ia menciumku tapi tidak mendapatkan bau daging anaknya pada diriku. Lalu ia menggerakkan tubuh bagian belakangnya, ia memberi isyarat, kemudian mengangkat ekor dan kakinya.
Dari gerakan tubuh gajah itu aku mengerti bahwa ia menghendaki agar aku menungganginya. Lalu aku naik, duduk dia atasnya. Ia memberi isyarat agar aku duduk dengan tenang di atas punggungnya yang empuk. Ia membawaku berlari kencang, sehingga malam itu juga tiba ku di sebuah perkebunan yang banyak pepohonan. Ia memberi isyarat agar aku turun dengan bantuan kakinya, maka aku pun turun. Kemudian ia berlari lebih kencang daripada larinya saat ia membawaku tadi.
Di pagi hari, aku menyaksikan di sekelilingku terdapat hamparan sawah, perkebunan, dan sekelompok orang. Orang-orang tersebut membawaku ke rumah kepala suku. Juru bicara suku itu memintaku berbicara. Kemudian, aku ceritakan tentang diriku dan kejadian yang dialami sekelompok orang dan rombongan dalam perahuku.
Juru bicara itu bertanya kepadaku, “Tahukah kamu berapa jauh jarak perjalananmu dengan seekor gajah itu?” Aku jawab, “Tidak tahu!” Ia menjawab, “Sejauh perjalanan selama 8 hari! Sementara gajah itu membawamu lari hanya dalam satu malam.”
Selanjutnya, aku diperkenankan tinggal bersama mereka di desa tersebut sehingga aku mendapat pekerjaan. Setelah itu, aku pulang ke kampungku. (Al-Hilyah: 10/160)
Sumber: 99 Kisah Orang Shalih, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan ke-5, Shafar 1430/2009.